Ternyata pelaku FRAUD DI DUNIA PERBANKAN juga bisa datang dari kalangan orang biasa. Nah Lho ?
Fraud menurut OJK adalah kesengajaan membuat pernyataan yang salah tentang suatu hal yang benar atau menyembunyikan fakta yang benar untuk mempengaruhi orang lain berbuat kerugian.
Bank Indonesia pernah mengeluarkan Surat Edaran terkait Fraud melalui Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.13/28/DPNP. Selama ini di perbankan yang banyak dicatat adalah Fraud yang dilakukan oleh Direksi.
Catatan OJK tahun 2014 dan 2015 misalnya, pelaku fraud justru dilakukan oleh Direksi yang jumlahnya mencapai 31 orang dan meningkat di tahun 2015 menjadi 35 orang.
Bahaya Fraud selain dari dalam juga datang dari luar kalangan perbankan. Pelaku Fraud bisa juga orang diluar bank, dari masyarakat umum, termasuk dari kalangan dunia properti.
Dua kegiatan bank yang terkait dunia properti adalah membiayai pembelian properti melalui produk KPR dan pinjaman dana melalui Refinancing.
Disebut KPR bila properti itu belum dimiliki alias benar – benar beli baru. Sementara bila sudah dimiliki lalu dijaminkan untuk mendapat uang, disebut refinancing.
Dengan KPR, pembeli yang awalnya tidak memiliki uang untuk membeli jadi bisa membayar lunas ke penjual, dan sebagai kompensasi pembeli mengembalikan ke bank secara mencicil dalam periode tertentu, bunga + pokoknya. Saat sudah mengikatkan diri dalam perjanjian, pembeli biasanya di sebut sebagai debitur.
Baik KPR maupun refinancing, bank sangat jarang membiayai pinjaman hingga 100 %, biasanya 70-80% dari nilai yang ditaksasi oleh penilai / Appraiser. Untuk KPR, sisanya pembeli bayar ke penjual pakai uang pembeli sendiri yang biasa disebut DP itu.
Fungsi DP disini bukan sekadar tanda jadi semata, tapi sebagai pengurang resiko soalnya properti itu barang yang tidak likuid, tidak setiap saat bisa diuangkan seperti menjual emas.
Dengan DP diharapkan properti mudah dilepas seandainya pembeli gagal bayar, harga properti sudah dibawah harga pasar. Bayangkan, barang 1 Milyar dijual 700 atau 500 juta, tentu menarik. Itu teorinya.
Tapi sekali lagi, itu teorinya. System yang ada saat ini ada satu kelemahan yang menjadi sumber Fraud di masyarakat.
Teori bahwa “properti mudah dilepas jika dibawah harga pasar” jalan jika nilai taksasi penilai benar. Jika penilai salah memberikan nilai, ketinggian, bank akan dalam masalah seandainya debitur gagal melunasi pinjaman. Agunan milik debitur sulit terjual.
Jika ada agunan macet yang tak terjual dalam kurun waktu 1 tahun, itu artinya agunan kemahalan, tidak menarik bagi investor / user untuk menebus balik. Mengukur kinerja penilai bank tak sulit, dari 100% agunan macet berapa persen yang dalam 1 tahun tidak terjual ?
Jika lebih dari 50% artinya daftar agunan di penuhi oleh agunan bertaksasi over pricing. Ada masalah di team penilai bank bersangkutan.
- Propertinya sulit terjual.
Kebetulan ada bank yang mau biayai (baca : bayarin), kapan lagi. Ini yang disebut minta bank beli properti. Pelaku bisa orang pribadi bisa developer.
- Lagi butuh uang, kepepet.
Debitur refinancing-kan propertinya, cair, selesai masalahnya dengan cepat, besok besok sudah gagal bayar. Metode lain, bisa saja si debitur meminta take over ke bank satunya, lalu ajukan Top Up kredit. Begitu di setujui, kena.
- Mengincar uang lebih.
Ada saja debitur yang membeli misal 2 M, tapi bank karena data yang masuk meyakinkan jadi cairkan 2,5 M. Dapat 500 juta. Bulan depan hilang debitur ini.
Kegagalan bayar ini bukan tanpa konsekuensi sebenarnya, properti yang diagunkan langsung kena sita dan debitur langsung kena collectibilitas 5, langsung kena blacklist se-Indonesia.
Kedepan dia tidak lagi bisa mengajukan segala jenis pinjaman ke lembaga keuangan di Indonesia, termasuk mengajukan kartu kredit dengan limit 3 juta sekalipun. Tapi hukuman ini ternyata tidak berpengaruh besar ke sebagian orang.
Bagi debitur kalangan senja yang sedikit lagi masuk pensiun misal, usia sudah cukup tua, cuma kena collectibilitas tidak ada masalah. Mereka berpikir juga tidak akan aktif lagi berbisnis, malah dengan bank kasih kredit itu artinya mengeluarkan dirinya dari masalah pelik. Sekadar kena collectibilitas 5 mana ada masalah.
Atau ketemu developer yang stress propertinya tidak laku, lalu mengajukan refinancing dan jadilah gagal bayar.
Atau ketemu debitur yang sudah pusing dengan bisnisnya yang sudah masuk siklus penurunan di pasar, omzet tidak bisa naik lagi, piutang tak tertagih banyak, hutang tinggi, anak tak ada yang mau meneruskan bisnis dan semua di luar negeri tak ingin balik, begitu ada bank yang baik hati mau mengucurkan kredit, bahagia bukan kepalang.
Si debitur dengan modal nama besar mereka di pasar minta limit setinggi tingginya. Bank yang menggunakan penilaian subjektif biasanya akan jadi korban.
Atau Fraud juga bisa dilakukan oleh debitur yang paham system di dunia perbankan, tau bagaimana membuat data yang meyakinkan bank, walau diri mereka terkena collectibilitas tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Tinggal buat akun baru pakai nama direksi baru. Data di poles – poles secara sabar setiap hari selama setahun. Mutasi di tabungan di buat rame, sehari belasan sampai puluhan transfer in dan out. Apa sulitnya transfer kiri kanan..?
Bank biasanya hanya meminta rekening 3-6 bulan terakhir toh..? Gawatnya jika orang seperti ini adalah pemain besar, angka jebol biasanya fantastis.
Perbankan adalah ujung tombak perekonomian Indonesia. Perbankan yang sehat akan mendorong ekonomi tumbuh lebih baik. Semakin banyak celah yang bisa ditutup semakin kecil potensi kerugian yang bisa terjadi. Bila bank sehat, ekonomi baik, semua akan senang tentunya.
Kalo kata bang Napi, kejahatan terjadi bukan cuma karena ada niat dan pelaku, tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah, waspadalah..
Suwandi Hermawan, S.E. | Suwandi.huang@gmail.com | 0811787100 / 081278280788
Director Tigana Realty di Kota Palembang
Catatan : Artikel ini telah terbit di majalah nasional Property & Bank edisi 151, 2018/THN XIII