Dunia bisnis itu lebih seperti hutan belantara daripada taman bermain. Didalamnya ada banyak macam manusia, termasuk yang baik, dan yang berani makan bisnis dan masa depan orang.
Bila tak mau selesai dimakan predator, tidak boleh lemah, konyol membiarkan diri terbuka mudah diserang dan jadi santapan.
Selalu tanamkan di dalam pikiran : “kejahatan terjadi bukan cuma karena ada niat dan pelaku, tapi juga karena ada kesempatan”. Di industri keuangan, perbankan misalnya, menutup celah dari si jahat yang hendak jadi peminjam dengan niat tak baik adalah tahu dan mengenali modus operandi pelaku.
Ada banyak modus operandi yang bisa membuat bisnis jatuh terduduk bila kena hantam para penjahat keuangan ini. Tapi tulisan kali ini hanya membahas 2 modus paling umum, tidak canggih, tapi sanggup buat performa bank terhuyung serasa kena hook dan jab telak. Kedua modus itu adalah :
1. JUAL ASET KE BANK
Bank itu tugas utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Yang duitnya berlebih oleh bank dananya disalurkan ke mereka yang butuh dana. Peminjam menaruh properti mereka sebagai jaminan kredit. Bila gagal bayar, bank menyita properti tadi, lalu menjualnya untuk menutup kerugian.
Tetapi bagi beberapa orang yang sudah bosan untuk berbisnis atau mereka yang sedang butuh dana dan sulit menemukan pembeli propertinya, mereka mengajukan refinancing (pembiayaan ulang) kepada bank. Setelah menerima dana, beberapa kali angsuran terbayar, lalu sengaja dimacetkan dengan alasan bisnis sedang jelek. Model kondisi Corona seperti ini jadi alasan paling enak untuk “menekan tombol peledak” tanpa dicurigai.
Bank jadi disuruh “beli properti”.
2. KPR OVER MARK UP
Sederhananya gini, pelaku beli barang senilai 10 M, dibuat jadi 30 M, lalu bila pencairan 80%, cair 24M. 10 M dibayar ke penjual, pelaku masih dapat 14 M. Bayar beberapa kali, lalu dimacetkan. Bagi bank, kerugian mereka ya di sekitaran angka 24 M itu.
Kok bisa ? bukannya orang bank punya analis ? Gak jauh-jauh terjadi karena : analis salah nilai, main percaya saja, atau paling naas si “analis masuk angin”.
Untuk modus ini tidak bisa di terapkan pada semua properti. Mesti menggunakan properti-properti yang tidak umum baru bisa jalan modus nya. Umum maksudnya adalah properti yang tersedia banyak data pembanding, sudah tercipta harga pasaran.
Misal : rumah type 36, ruko 3 lantai di jalan utama, gudang di komplek pergudangan.Tidak umum maksudnya properti yang sedikit data pembanding, susah didapatkan properti serupa yang bisa dijadikan rujukan harga, misal : Pabrik, Gedung, Hotel. Apa bukti bahwa terjadi over pricing padahal sudah ada analis berlapis-lapis ? Lihat saja tumpukan agunan macet yang susah sekali di lepas ke publik.
Secara teori, bila properti sudah dihargai hanya 80% saja atau kurang oleh bank, maka semestinya sudah di bawah harga pasar, dan sudah memberikan keuntungan bagi pembeli berikutnya sehingga mudah dilepas, benar toh ? Kenyataan nya tidak seperti itu, Ferguso. Bila tak ada yang mau, Bank terkadang sampai harus beneran beli sendiri agunan macet ditempat mereka demi membirukan kembali laporan keuangan yang merah.
Beda modus 1 dan 2 adalah pada apakah propertinya sudah dimiliki atau belum. Modus operandi pertama, propertinya sudah dimiliki, sementara modus operandi kedua, propertinya belum dimiliki alias menciptakan uang dari ketiadaan. Jangan tanya mana yang mudah dikerjakan ya, gak jadi punya niat buat jadi pelaku kan ? Perbedaan orang baik dan orang jahat itu ada pada keputusan yang dibuat saat punya kemampuan dan kesempatan untuk melakukan hal yang tidak benar.
by : Wandi